Seberapa keras kamu terhadap dirimu sendiri? Pertanyaan itu muncul di sebuah buku The Book of Question punya Lala Bohang.
Kini ia malah sering berkelibat di kepala.
Beberapa hari lalu, aku mengikuti sebuah seleksi. Cukup menguras tenaga dan fikiran.
Berkas yang diminta tidak sedikit, aku harus bolak balik ke beberapa instansi untuk memenuhi persyaratan.
Tiba saatnya pengumuman, tidak lulus.
Saat pengumuman tiba itu, aku lagi di sebuah mall. Berjalan-jalan sendiri.
Jam tangan tunjukkan pukul 20.45, bukannya pulang, malah singgah di toko buku dalam mall tersebut.
Larut dalam bacaan dalam toko buku, datang sebuah pengumuman dari sebuah pengeras suara, memberitahukan bahwa ia hendak tutup.
Langsung bergegas merapikan tas, memeriksa telepon genggam lalu beranjak pulang.
Sesampainya di kamar indekos, aku merasa sangat gerah seharian hingga memutuskan untuk keramas.
Berbenah diri hingga selesai, jam menunjukkan pukul 00.00 tepat. Aku lelah, hendak segera berbaring di kasur.
Kehendak itu terpaksa ditunda dulu, sebab rambut yang baru saja dikasih sampo masih saja basah. Jika memaksa tidur, esoknya bisa demam dan tak dapat lagi melanjutkan aktifitas.
Sambil duduk menunggu rambut kering, aku mengotak-atik telepon pintar. Tak lama, muncul satu notifikasi dari seorang kawan jauh.
Ia ucapkan selamat ulangtahun dan beruntun doa dibelakang teks tersebut.
Refleks, langsung melihat tanggal. Iya, kawan lama tadi ternyata benar. Itu pukul 00.03 pada 27 Agustus dan hari kelahiranku.
Aku bersyukur sekali saat diingatkan.
Setelah mengucapkan terimakasih dan hal basa-basi lainnya, aku tertidur.
Capek menggerogoti tubuh hingga tak dapat lagi melanjutkan percakapan.
Keesokan harinya, buku yang aku baca menjelang pulang tadi malam terus saja terngiang dalam kepala.
Sebenarnya, seberapa keras sih kamu terhadap diri sendiri?
Aku, jika disuruh menjawab pertanyaan semacam itu pastilah akan katakan ‘Ya, sangat keras’.
Pertanyaan itu sangat membuatku sadar. Bahwa aku tidak lagi memikirkan diri sendiri jika hendak mengejar atau melakukan sesuatu.
Aku bangun pagi, ikut pelatihan, berdiskusi dengan kawan hingga larut.
Tak lagi memikirkan, benda apa saja yang sudah masuk ke dalam perut. Apakah sudah cukup nutrisi?
Atau berapa lama aku tidur? Apa cukup untuk membayar aktifitas seharian?
Tidak, sayang sekali, aku tidak pernah berfikir begitu.
Sebenarnya apasih yang aku kejar? Masa depan cerah? Pujian? atau uang?
Iya, iya, aku paham. Tentu banyak alasan mengenai apa yang dikejar. Namun, apakah ia dapat membalas jasa atas apa yang dikorbankan tubuh?
Maksudnya, jika nanti punya masa depan cerah, uang cukup dan punya pasangan hidup yang baik. Apakah itu dapat membayar apa yang sudah dilakukan?
Begini, jika aku punya masa depan cerah, sebagaimana kodrat manusia, tidak pernah merasa puas.
Ditambah lagi, masa depan cerah itu tak dapat diukur, aku nantinya tentu akan haus lagi dengan masa depan yang lebih cerah lagi.
Aku lagi-lagi akan mencambuk diri sendiri untuk mencapai hal semacam itu. Begitu seterusnya dan seterusnya.
Sama halnya juga dengan punya pasangan yang baik. Aku, sebagai seorang manusia akan memuji kekasihku yang baik, lalu karena dia begitu baik, maka aku yang merasa tidak begitu baik akan berusaha membuatnya senang. Aku akan berusaha terlihat baik, berusaha menjadi yang terbaik buat kekasih tadi.
Untuk terlihat menjadi baik, aku akan berusaha melakukan apapun. Apapun yang terlihat baik.
Maka lagi-lagi mencambuk diri sendiri agar terlihat baik.
Aku melakukan segalanya untuk masa depan.
Mengikuti pelatihan yang tidak aku senangi, ikut kajian yang kurang menarik.
Aku menyenangkan teman dengan mau saja jika diajak berkumpul sekedar nongkrong.
Aku mengerjakan ini itu saat tubuh butuh istirahat. Bangun dini hari, memaksa diri untuk mandi dan langsung melakukan hal yang melelahkan.
Aku mengingat-ingat dahulu sekali masih punya banyak waktu terhadap diri sendiri.
Bangun pagi, masih sempat memakaikan headset ke telinga lalu mendengarkan musik pemantik semangat.
Setelahnya baru mandi pagi.
Dahulu sekali, aku juga masih sempat memerhatikan makanan yang masuk ke dalam tubuh. Apakah cukup nutrisi atau apakah yang dikonsumsi itu berbahaya atau tidak.
Dulu, aku masih cukup istirahat dan bangun segar sekali pada pagi harinya.
Dulu juga, aku, paling tidak, masih dapat mengingat kapan akan berulangtahun dan memberi sedikit kebahagiaan diri sendiri atas itu.
Biasanya jika dihari ulangtahun, aku menginginkan hal-hal yang baik dan menyenangkan tiba. Ingin tidak ada yang mengganggu sama sekali.
Namun, yang terjadi kemarin, tidak lagi begitu.
Setelah kawan jauh itu mengucapkan sekedar selamat, aku tertidur pulas akibat lelah seharian.
Paginya, pada hari ulangtahun tersebut, aku lagi-lagi disibukkan dengan keseharian yang melelahkan.
Tak ada lagi harapan atas ini itu, bukannya tak ingin berharap, namun aku benar-benar tak sempat berharap.
Beberapa teman memeluk, bersalaman sambil mengucapkan selamat. Aku merespon itu dengan senyuman, lalu mulai sibuk lagi dengan banyak kegiatan.
Aku tak benar-benar mendengarkan mereka. Aku, tak lagi menghargai diri sendiri.
Kini, umur berlalu begitu saja. Tak ada yang spesial atas itu. Atau memang tak lagi menganggap itu hari yang luar biasa.
Aku tak lagi menghargai diri atas segala kerja keras yang selama ini dia lakukan.
Jadi, seberapa keras kamu terhadap diri sendiri?
**Pernah terbit di wilingga.com. Disunting dan diunggah lagi untuk memperingati hari ulang tahun pada 27 Agustus lalu.
Menjadi dewasa di era pemerintahan presiden Joko Widodo ‘:
Oh iya, meski telat… semoga umur barokah, Dear!
Menjadi dewasa di era krisis begini, sangat terseok-seok. Terimakasih makkk