Jumat, 26 April itu masih seperti hari biasa. Aku bangun pagi dengan gembira karena mama orang yang paling kusayangi masih di rumah. Belum balik ke kampung.
Dia memasak dengan gembira, aku makan masakannya juga dengan gembira. Hari itu aku dapat jadwal kerja midle__masuk pukul 11 pagi sampai jam 7 malam.
Pagi itu sambil menyantap pepaya yang sudah dipotong potong rapi mama sekalian melihat ia terburu-buru menyiapkan bekal makan siang.
Aku melirik masakannya, ada hati ampela ayam yg digoreng. Keningku mengkerut “hmm kurang menarik” Tapi its ok, mama sangat jarang masak itu. Enggak apa-apa. Mungkin dia kehabisan ide, atau mungkin dia lagi menuruti kemauan Tifa__adik bungsuku yg selalu minta masakan aneh-aneh.
Saat memasukkan nasi dan lauk untuk bekal makan di tempat kerja, aku tidak begitu ambil banyak. Karena kurang suka. Dan langsung pamit berangkat.
Kondisi badan masih fit, baik-baik saja saat itu. Tapi kerjaan cukup banyak, sebab rekan Putra sedang libur. Otomatis pekerjaan yang harusnya kami bagi dua, kini coba sendiri saja.
Pukul 11, 12, 13, 14, masih aman. Aku duduk di meja kerja, sambil mondar mandir buat ini itu. Hari ini agak sedikit telat makan karena bekalnya cukup kurang enak.
Pukul 14.00 ngemil pepaya lagi.
15.00 Aku coba melirik makanan yg di dalam bekal. Mencicipinya.
Ya seperti rasa hati ampela biasa. Jadi hanya sedikit yang masuk dalam perut.
Sambil makan, sesekali tangan tetap di keyboard komputer, masih sambil kerja.
16.00 badan terasa kurang sedap
Saat itu aku nyeri perut datang dan sedikit pusing, tapi tetap berusaha fokus.
17.00 makin parah
Jam pulang terasa masih lama sekali, mukaku sudah memucat, kepala pusing tidak karuan. Bolak balik sambil kerja selalu memerhatikan jam, berharap ia cepat berputar dan aku bisa istirahat pulang.
18.00 sakit kepala, kram perut, mual menyatu jadi satu kesatuan
Membentuk sesuatu yang aneh dan belum pernah aku rasakan seumur hidup. Sambil mengeluh sakit, aku masih tetap kerja.
19.00 menelepon mama
“Ma, lagi di mana?”
“Rumah, kenapa suaramu Wil?”
“Mak, aku lemas sekali, tapi ini otw pulang. Tunggu ya.”
Telepon ku tutup. Meletakkan barang dalam bagasi lalu tancap gas dalam keadaan pusing, mual, kram perut. Di dalam fikiran, saat itu sampai rumah dan tanya mama ini sakit apa.
Tiba di Rumah Aku segera melepaskan sepatu, tak sempat buka baju kerja langsung menuju kamar mandi. Memuntahkan isi perut. Dalam waktu yang bersamaan, sebenarnya sudah tidak kuat lagi berdiri. Namun keadaan memaksa.
Mama menunggu di luar kamar mandi dengan muka sangat cemas, kecemasannya sudah terjadi saat aku meneleponnya 30 menit lalu. Mama sampai meminta Iqfar, adik cowok untuk menjemputku di jalan.
Tapi mereka berusaha menenangkan mama di rumah.
Selesai muntah, aku tumbang pakai baju kerja
Aku ceritakan ke mama kondisi saat itu. Perut mual, badan lemas, kepala pusing, mama dengan muka kuatir sekali sibuk menguruti sebagian badanku.
“Buka dulu baju kerjanya Wil” perintahnya.
Aku berdiri tertatih-tatih mencari baju ganti yang cukup nyaman dipakai. Setelah ketemu dan memakainya lagi-lagi mual dan ke kamar mandi.
Memuntahkan pepaya hingga bekal tadi sore.
Mama mulai merintahkan Iqfar untuk beli cairan penyegar, fresh care dan menawarkan untuk ke dokter. Aku menolak karena sudah cukup sering dan rasanya tidak ada perubahan.
Di klinik dekat rumah, hanya dipertemukan dengan dokter umum. Selama ini aku diberi obat lambung, tapi kenapa ini tidak cocok? Aku ingin ke rumah sakit besar saat itu juga.
Namun yang besar dan cepat dijangkau saat itu hanya RS Aulia, tempat ayah meninggal, tidak mungkin mama mau ke sana. Ia belum dapat melupakan kejadian kelam bertahun-tahun lalu.
Malam itu aku coba tidur dengan kondisi badan yang masih buruk
Pukul 01.00 pagi Aku bangun, ke kamar mandi muntah lagi dan lanjut tidur.
02.00 muntah lagi
Aku bangun, ke kamar mandi muntah lagi dan lanjut tidur.
Jam 03.00 lagi lagi muntah.
Mungkin tubuh enggak tau lagi ingin mengeluarkan apa. Sudah habis semuanya. Kali ini mama terbangun, aku ceritakan dari tadi bolak balik bangun dan muntah.
Dia berbuat sebisanya. Merebus air hangat, mengurut badan hingga kaki. Pada jam itu aku tak dapat lagi tidur. Perasaan tubuh tak juga membaik.
Menunggu pagi Pukul 04.00 aku meminta ke rumah sakit Madani
Mama membangunkan Wiloci__adik ku nomor 2 yang sedang tidur. Karena ia minta temankan. Loci terbangun, memakai pakaian sepantasnya keluar menggoncengku. Mama dan Tifa menyusul dari belakang.
Jam menunjukkan pukul 4.30, security depan rumah sakit terlihat tidur. Kami bangunkan dia terkejut. Semua petugas saat itu sedang tidur.
Pasien yang datang hanya aku seorang saja. Aku diminta petugasnya untuk berbaring sembari menunggu. 30 menit lamanya, ada perempuan paruh baya terseok seok, habis dibangunkan dari tidur. Ia bertanya kondisiku.
Karena di klinik sebelumnya aku disebut sakit lambung, maka aku meniru ucapan dokternya. Dia mengiyakan.
Sebenarnya, aku tak berharap banyak di rumah sakit ini. Sebab tak banyak aktivitas yang dapat diperbuatnya. Pasien yang berdatangan selama setahun terakhir pun dapat dihitung dengan jari.
Perempuan gempal tadi tergopoh-gopoh membawakan jarum yang berisi cairan suntikan. Ia mencari nadi di tangan kananku, aku kesakitan, ia plester lukanya. Dia mencari lagi, lagi-lagi aku kesakitan, tapi berhasil.
Akhirnya, ia putuskan untuk menyuntikkan semacam cairan bening tersebut pada seluruh badan melalui satu tangan.
Aku beberapa kali meraung, sakit sekali. Ia menenangkan, setelah cairan di suntikan habis dia mencabut jarum dari kulit, lagi-lagi meraung.
Beberapa detik kemudian, rasa mual yang ada pelan-pelan menghilang, aku mulai tenang.
Setelah satu jam menunggu, kami diminta pulang. Mama kaget sambil bertanya “Enggak dirawat?”
Perempuan gempal tadi berkata tidak perlu, dia memberi beberapa obat lambung dan sampaikan kalimat penutup. “Anak Ibu tidak perlu dirawat karena mualnya sudah hilang, cukup makan teratur di rumah nanti sembuh.”
Mama mengangguk, tidak mengerti. Dia tak habis fikir, anaknya selemas ini tidak juga dirawat agar sembuh
Mama memanggil adik laki-lakiku, ia datang dan membantu membawaku pulang. Aku lemas sepanjang perjalanan.
Sesampainya di rumah, mama menyuapi bubur ayam yang masih hangat, jika sehat, itu akan enak sekali. Aku memakannya sambil baring.
Sambil meraih telepon genggam, memencet satu nomor, lalu memanggilnya. Aku kabarkan bahwa aku izin tak dapat masuk kerja karena sakit. Setelahnya tertidur lelap.
Pagi berganti siang, bangun tidur langsung ke kamar mandi, untuk buang air kecil. Setelah semuanya, aku baring lagi.
Mamaku sigap menyuapi makan siang, Aku makan sambil baring.
Bagai robot, aku hanya bangun saat mau ke kamar mandi saja, selebihnya aku lakukan sambil tiduran. Makan, minum, lalu tidur lagi.
Merasa tak ada perkembangan, petang harinya aku memutuskan untuk ke klinik
“Saya pun bingung begini sakit apa ya? Detak jantung normal, badan gak panas, tapi kok gak kuat-kuat ini badannya setelah dikasih obat?” Kata dokter umum di klinik tersebut.
Aku sudah menjumpainya dengan keluhan yang sama nyaris hingga tiga kali. Mendengar dia putus asa, aku turut putus asa.
Aku putuskan satu malam itu di rumah seperti robot lagi
Sampai pada pagi harinya, setelah muntah sekali lagi di kamar mandi. Sambil berbaring, aku ngobrol sama mama.
“Ma, ayolah kita ke rumah sakit Aulia, aku udah gak kuat”
Rumah Sakit Aulia menyimpan kenangan kelam sekitar dua tahun lalu bagi kami semua. Pasalnya, Ayah meninggal dan koma di sana. Tidak ada yang salah dari penanganan mereka. Namun Mama sangat berat untuk menginjakkan kaki lagi ke Aulia Hospital.
Tapi melihat kondisiku yang tak kunjung membaik, ia putuskan untuk mengusir traumanya.
Mama dengan mantap bilang ayok saat aku ajak ke rumah sakit tersebut. Aku pun memutuskan untuk memesan taksi online untuk mengangkut kami berdua ke sana.
Setiba di rumah sakit itu, kaki mama bergetar, dia menangis, aku tetap menariknya dan langsung security dengan sigap bertanya.
“Mau ke mana Buk?”
“IGD” jawabku.
Dia cepat sekali membawa kursi roda dan mengantarku ke ruangan Instalasi Gawat Darurat tersebut.
Hanya dalam hitungan menit, aku langsung ditangani dan diberi cairan Infus. Dokternya berkata ke mama, “anak ibu mesti dirawat di sini ya bu”
Mama mengangguk mengiyakan.
Bersambung…
Selalu menyenangkan membaca tulisan Wila. Ditunggu kelanjutan ceritanya kak.
Yg pasti sebab sakit itu bukan karna makan hati ampela.
Hahaha
Atau juga tidak karna makan pepaya 🤣🤣
Loh, ini kisah nyata?
Kok serasa baca cerbung?
Cepat sembuh, deh.
Kisah nyata sekali. Baru seminggu lalu kejadiannya. Terimakasih yaaa, semoga kita selalu sehattt
Somoga penulis ini diberi kesihatan yang baik dan harap kelanjutan ceritanya cepat dirilis yah☺️
Aamiinnnn, semoga nulisnya semangat terus biar bisa lanjutin ceritanyaaa 🥰
Cerita yang penuh emosi dan realistis. Perjuangan individu dan keputusan ibunya menunjukkan cinta sejati. Alur cerita yang mengharukan dan meneguhkan.
Huhu terimakasihh, kasih ibu memanglah sepanjang masa
Jadinya karena apa kah? salah makan atau telat makan? agak rempong nih kalau muntah-muntah gitu, bisa berakibat dehidrasi ya
Bener banget kakk, muntah bikin badan lemes dan jadinya ganggu aktifitas kitaaa.