Dulu, Ayah (kami memanggilnya Apa) suka sekali nongkrong di dekat rumah nenek. Selain ngumpul sama kawan, dia sekalian menengok nenek kami sebagai bentuk bakti kepada orangtua.
Tempat nongkrongnya itu merupakan bangku biasa yang dibuat seadanya pakai kayu. Di dekatnya ada sebuah pohon mangga udang yang berdiri rimbun sekali.
Pohon itu sebagai pelindung mereka jika duduk siang-siang. Belum lagi angin yang selalu saja meniup daun si pohon, membuat siapa saja yang duduk dibawahnya jadi sejuk dan betah duduk berlama-lama di sana.
Selain daunnya rimbun, ia juga punya buah banyak. Tak kenal musim, selalu berbuah kecil-kecil, mula-mula berwarna hijau lalu menguning jika sudah masak.
Setelah buahnya matang, mereka berjatuhan.
Apa duduk di sana, ngobrol ngalor ngidul. Jika buah mangga jatuh, dia sigap memungutinya.
Kalau memang musimnya masak, Apa bahkan dapat satu kantong plastik, banyak sekali.
Jika dapat banyak, Apa akan pulang dengan senang dan menceritakan ke mama bahwa ia dapat banyak mangga.
Padahal, Apa tak suka mangga.
Tapi kalau sudah pulang dari nongkrong, dia tetap membawa mangga udang.
Ha ha
Semua itu untuk mama.
Mama senang sekali makan buah, apalagi mangga.
Ia selalu sambut Apa dan senang sekali jika dibawakan mangga.
Kesenangan itu yang selalu ingin dilihat Apa dari mama.
Cinta.
Cinta membuat kita mengingat segala hal yang disenangi orang yang kita kasihi.
Apa sangat mencintai mama, dia mengingat apa yang mama sukai.
Apa ingat mama suka mangga, sehingga sengaja duduk di bawah pohon, untuk mengutip buah yang dia tidak sukai itu.
Comment